Jakarta- Kuasa Hukum Menteri Pertanian (Mentan), Chandra Muliawan, menegaskan bahwa langkah hukum terhadap Tempo merupakan konsekuensi atas tindakan media tersebut yang telah secara resmi dinyatakan melanggar Kode Etik Jurnalistik oleh Dewan Pers.
Pernyataan ini merujuk pada Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor 3/PPR-DP/VI/2025, yang menyebut Tempo melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik dalam pemberitaan dan unggahan visual bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk” yang dipublikasikan di platform X dan Instagram pada 16 Mei 2025.
Pelanggaran itu tidak main-main. Dewan Pers menyatakan konten Tempo tidak akurat, melebih-lebihkan, memelintir fakta, dan mencampuradukkan opini menghakimi seolah-olah itu fakta. Visual yang digunakan bahkan dinilai membangun kesan hiperbolis yang berdampak langsung pada psikologi publik, merugikan petani, serta mengacaukan persepsi mengenai ketahanan pangan nasional.
“Faktanya jelas, Tempo telah melanggar etika. Itu bukan klaim kami. Itu keputusan resmi Dewan Pers,”kata Chandra.
Chandra menegaskan bahwa gugatan ini muncul karena Tempo tidak melaksanakan PPR Dewan Pers sebagaimana diwajibkan. Bukannya memperbaiki pelanggaran, Tempo justru membuat interpretasi sepihak untuk membangun impresi bahwa mereka telah mematuhi keputusan Dewan Pers.
“Ini bukan soal anti kritik. Ini soal etika. Soal tanggung jawab moral terhadap publik. Tempo mengklaim sudah melaksanakan PPR, padahal tidak sesuai ketentuan yang diwajibkan,” jelasnya.
Ia menambahkan, langkah hukum ini justru untuk menjaga marwah dan profesionalisme pers Indonesia. “Jangan salah paham kami tidak membungkam siapa pun. Tidak ada sensor. Tidak ada pembatasan publikasi. Semua proses terbuka dan sesuai hukum,” kata Chandra.
Chandra menegaskan bahwa Tempo tidak bisa menutupi pelanggaran etik hanya karena memenangkan eksepsi terkait kewenangan pengadilan.
“Menang eksepsi soal kewenangan bukan berarti bersih dari pelanggaran. Dewan Pers sudah menyatakan secara resmi bahwa Tempo melanggar etika jurnalistik. Itu fakta yang tidak bisa dihapus,” ujarnya.
Menurutnya, inti permasalahan justru belum tersentuh yakni kerugian publik, terutama petani, akibat pemberitaan hiperbolis Tempo mengenai “beras busuk.”
“Sayangnya, substansi kerugian petani justru belum diuji. Padahal narasi Tempo telah memengaruhi persepsi publik secara luas,”kata Chandra.
Chandra juga menyoroti aksi-aksi demonstratif yang dilakukan Tempo bersama beberapa organisasi pers sebagai reaksi atas proses hukum yang sedang berjalan. Menurutnya, langkah tersebut justru menunjukkan sikap defensif yang berlebihan.
“Demonstrasi di berbagai tempat tidak akan menghilangkan fakta bahwa Dewan Pers sudah memutuskan adanya pelanggaran. Publik bisa menilai sendiri, mengapa langkah hukum profesional dibalas dengan agitasi di jalan,”ujarnya.
Chandra juga mengatakan bahwa saat ini Mentan Amran tetap berada pada jalur hukum dan tidak akan terpengaruh tekanan opini yang dibangun melalui demonstrasi atau kampanye naratif. Langkah hukum ini adalah upaya memperbaiki standar pers Indonesia, bukan untuk membungkam kritik.
“Yang kami jaga bukan nama satu individu, tetapi integritas informasi yang dikonsumsi publik. Tidak boleh ada media siapa pun itu yang merasa berada di atas etika,”tutup Chandra.
