Oleh: Andreas – Pengamat Komunikasi Publik
“Journalism is printing what someone else does not want printed; everything else is public relations” Kutipan George Orwell itu selalu tajam mengingatkan kita bahwa jurnalisme sejati lahir dari keberanian mencetak fakta yang tak diinginkan penguasa, bukan keberanian memilih musuh tetap. Namun keberanian itu hanya bermakna bila disertai integritas. Tanpa itikad baik, kebebasan pers bukan lagi penjaga demokrasi, melainkan senjata sewaan yang siap dibidik siapa saja demi agenda tersembunyi.
Beberapa minggu terakhir, publik menyaksikan pola yang terlalu kentara untuk diabaikan Tempo menjadikan Kementerian Pertanian dan Menteri Amran Sulaiman sebagai target tetap. Hampir setiap isu pangan betapapun kecilnya, selalu diarahkan kembali ke satu nama, dengan nada yang sama, framing yang sama, dan kesimpulan yang sudah ditentukan sebelumnya.
Kritik kebijakan boleh, pengawasan wajib, tapi ketika serangan menjadi rutinitas harian yang mengarah ke personal, bukan substansi, publik berhak bertanya: ini masih jurnalistik atau sudah kampanye hitam berbaju berita? Yang lebih menggelitik adalah timing-nya. Serangan ini menguat justru saat kebijakan pangan pemerintahan baru mulai menutup celah-celah lama impor yang tak terkendali mulai dibatasi, kartel pupuk diganggu, mafia kuota mulai gelisah, dan ruang bermain para pemain besar di sektor pangan terasa semakin sempit.
Tiba-tiba Tempo yang dulu pernah jadi penjaga nurani berubah menjadi corong yang begitu getol membela narasi lama, seolah ada yang kepanasan karena ladang untungnya mulai terbakar.
Kita tidak sedang menuduh tanpa bukti. Kita hanya mengajukan pertanyaan yang sama yang kini berbisik di warung kopi, grup WhatsApp, hingga ruang-ruang pengambil kebijakan: apakah kebetulan sebuah media besar begitu bersemangat menghantam satu kementerian tepat saat mafia pangan mulai kehilangan karpet merahnya? Apakah kebetulan narasi yang dibangun selalu selaras dengan kepentingan pihak-pihak yang dulu nyaman bermain di balik layar importasi dan kuota? Apakah kebetulan serangan itu semakin brutal saat data swasembada mulai menunjukkan angka-angka yang tak bisa lagi dibantah? Dan yang lebih mencurigakan lagi, apakah dugaan aliran dana asing yang pernah disindir Presiden Prabowo justru mengarah ke sini?
Prabowo, sejak kampanye hingga kini, berulang kali memperingatkan soal “antek asing” yang membiayai LSM atau media untuk adu domba, memecah belah, dan melemahkan stabilitas nasional termasuk narasi yang kini membabi buta menyerang kebijakan pangan yang pro-rakyat. Tuduhan itu bukan isapan jempol, dalam berbagai pidato dan wawancara, Prabowo secara eksplisit menyinggung media yang dimiliki atau didanai asing, lengkap dengan kompilasi video yang menyebut Soros sebagai benang merahnya.
Lihat saja fakta yang mulai terkuak dalam sebuah podcast Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, justru mengakui secara tak langsung bahwa aliran dana George Soros melalui Media Development Investment Fund (MDIF) menjadi bahan bakar operasional Tempo. MDIF, yang didirikan dengan investasi awal dari Soros Economic Development Fund sejak 1995, kini jadi sumber utama pendanaan untuk media-media kritis seperti Tempo termasuk suntikan dana fantastis pada Juli 2024 yang tak banyak diketahui publik. Bagja, sebagai managing editor investigasi sejak 2001, tak pernah menyangkal; malah, dalam diskusi internal dan respons publik, narasi itu dibiarkan mengalir sebagai “dukungan filantropi”. Tapi filantropi apa yang tiba-tiba getol membela impor pangan tak terkendali, saat kebijakan baru justru membatasi ruang mafia?
Soros, yang dituding sebagai dalang krisis moneter 1998 oleh mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad, kini kembali jadi pusat spekulasi apakah dana itu benar-benar netral, atau justru bahan bakar untuk narasi yang melemahkan swasembada nasional?
Belum lagi peran IFEX, jaringan global kebebasan berekspresi yang juga berbasis dana Soros melalui Open Society Foundations lembaga yang telah menyuntik lebih dari US$32 miliar sejak 1984 untuk “membangun masyarakat terbuka”. IFEX membela Tempo mati-matian, terutama saat tuduhan antek asing membanjir pasca-serangan berulang ke Kementan.
Dalam laporan-laporan mereka, IFEX tak segan menyebut teror seperti pengiriman kepala babi ke redaksi Tempo sebagai “serangan terhadap jurnalisme independen”, sambil mengabaikan pola pemberitaan yang terlalu condong. Dukungan ini bukan kebetulan; IFEX, dengan grant dari Soros, sering jadi perisai bagi media yang selaras dengan agenda global, termasuk yang tampak anti-kedaulatan pangan Indonesia. Publik bertanya dimana itikad baik Tempo sebagai teladan bagi jurnalis muda?
Jika dana asing jadi bahan bakar, apakah jurnalisme mereka masih untuk rakyat, atau untuk kantong segelintir filantropis yang gelisah melihat Indonesia bangkit mandiri?
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik tegas melarang pers bekerja dengan itikad buruk. Menguliti kebijakan boleh, menghakimi personal setiap hari dengan fakta setengah matang adalah pelanggaran. Ketika sebuah media memilih menyerang orang alih-alih argumen, ketika klarifikasi dan data keberhasilan sengaja dibiarkan tenggelam, ketika nada berita lebih mirip eksekutor daripada pewarta apalagi diduga didorong dana asing maka yang runtuh bukan hanya kredibilitas media itu, melainkan kepercayaan publik terhadap pers secara keseluruhan.
Joseph Pulitzer pernah memperingatkan: “Our Republic and its press will rise or fall together.” Pers yang kuat dan berintegritas membuat bangsa kuat. Pers yang menjadi alat pesanan atau sekadar tampak demikian membuat demokrasi pincang.
Kebenaran memang bisa diserang, bisa dipelintir, bisa dikaburkan sesaat oleh rentetan judul sensasional dan dukungan internasional. Tapi kebenaran tidak pernah bisa dibungkam selamanya. Publik kini jauh lebih cerdas. Mereka sudah belajar membaca di antara baris, menghitung frekuensi, mencocokkan timing, dan menyimpulkan sendiri siapa yang sedang membela rakyat, dan siapa yang sedang membela kantong segelintir mafia yang mulai kehilangan ruang geraknya lengkap dengan jejak dana asing yang tak lagi bisa disembunyikan.
Pada akhirnya, yang terbakar bukan ladang pangan rakyat, melainkan topeng yang selama ini dipakai untuk menyamar sebagai “jurnalisme investigasi”. Dan ketika topeng itu terbakar, yang tersisa hanyalah wajah asli kepentingan yang kepanasan karena ruang bermainnya semakin sempit. Kebenaran akan tetap berjalan, dengan atau tanpa Tempo.
